Mungkin masih ada di ingatan kita tentang KRI Nanggala-402 yang tenggelam di Laut Bali. Laut yang berkedalaman mencapai 1.000 meter lebih, bahkan semakin ke arah timur makin tambah dalam. Meskipun bukan laut terdalam di Indonesia, namun memiliki pusaran arus sangat kencang dan kompleks. Di bawah laut ini pula, terdapat jalur sesar naik yang amat aktif, memanjang dari utara Pulau Flores hingga utara Bali.
”Kondisi dasar Laut Bali berbentuk basin atau seperti mangkuk dengan arus berubah-ubah di tiap kedalamannya. Pada kedalaman lebih dari 1.000 meter, Laut Bali terhubung dengan dasar Selat Lombok dan Laut Flores yang memiliki arus sangat deras,” kata peneliti bidang oseanografi Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Widodo S Pranowo.
Mangkuk raksasa dengan kemiringan terjal ini, menurut Widodo, berbatasan dengan Pulau Bali dan Selat Lombok di sisi selatan. Pada sisi timur berbatasan dengan Laut Flores.
Di sisi utara, Laut Bali berbatasan dengan Kepulauan Kangean dan kanal yang menyambung dengan Kanal Labani di Selat Makassar. Sementara di sisi barat, laut ini berbatasan dengan Selat Madura dan Pulau Jawa, yang di masa purba merupakan tepian dari Paparan Sunda, yaitu daratan besar yang menyatukan Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera dengan Eurasia.
Jika Laut Jawa dan perairan timur Sumatera baru terbentuk setelah berakhirnya zaman es--yaitu ketika pemanasan global melelehkan es di Bumi dan menimbulkan kenaikan muka air laut hingga sekitar 12.000 hingga 6.000 tahun yang lalu, Laut Bali sudah berupa laut sejak purba.
Laut Bali, yang masuk dalam Ekoregion Laut ke-9 dari 11 ekoregion laut yang ada di Indonesia. Wilayah ini meliputi perairan Bali dan Nusa Tenggara, yang menurut geolog Robert Hall (2001) telah terbentuk sebelum 15 juta hingga 5 juta tahun silam. Ekoregion laut ini merupakan bagian dari zona Wallacea, yang dikenal memiliki kekayan hayati endemis tertinggi di Nusantara.
Selain cekungan Bali, ekoregion ini juga memiliki lima cekungan lain, yaitu Cekungan Flores, Cekungan Lombok, Cekungan Sumba, Cekungan Sawu, dan Cekungan yang memiliki titik terdalam hingga 7.247 meter.
Bagi para geolog, perairan yang mengelilingi kumpulan pulau-pulau dari Bali hingga Nusa Tenggara ini merupakan zona tektonik sangat aktif. Di sebelah selatan kepulauan ini, terdapat zona pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia, yang membuat pesisir selatan Bali hingga Nusa Tenggara rentan terdampak gempa dan tsunami.
Laut Bali, yang masuk dalam Ekoregion Laut ke-9 dari 11 ekoregion laut yang ada di Indonesia. Wilayah ini meliputi perairan Bali dan Nusa Tenggara, yang menurut geolog Robert Hall (2001) telah terbentuk sebelum 15 juta hingga 5 juta tahun silam. Ekoregion laut ini merupakan bagian dari zona Wallacea, yang dikenal memiliki kekayan hayati endemis tertinggi di Nusantara.
Selain cekungan Bali, ekoregion ini juga memiliki lima cekungan lain, yaitu Cekungan Flores, Cekungan Lombok, Cekungan Sumba, Cekungan Sawu, dan Cekungan yang memiliki titik terdalam hingga 7.247 meter.
Bagi para geolog, perairan yang mengelilingi kumpulan pulau-pulau dari Bali hingga Nusa Tenggara ini merupakan zona tektonik sangat aktif. Di sebelah selatan kepulauan ini, terdapat zona pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia, yang membuat pesisir selatan Bali hingga Nusa Tenggara rentan terdampak gempa dan tsunami.
Bencana yang melanda utara Bali pada 1815 terekam dalam Babad Buleleng dan Babad Ratu Panji Sakti. Dalam dua babad ini disebutkan, banyak orang dan keluarga kerajaan tewas terkena banjir longsor pada tahun Saka 1737 atau 1815 Masehi.
Catatan lebih lengkap yang disimpan di Puri Ayodya, Singaraja, seperti dituturkan I Made Kris Adi Astra, analis dari BMKG Wilayah 2 Denpasar, ”Pada hari Rabuumanis kurantiltahun Saka 1737 (22 November 1815), gempa bumi besar mengguncang”.
Getaran gempa bumi mengakibatkan pegunungan retak longsor dengan suara menggelegar seperti guntur. Longsoran pegunungan lantas menimpa ibu kota Buleleng, Singaraja. Desa-desa tersapu ke laut. Bencana ini menewaskan 10.523 orang. Banyak pejabat penting kerajaan turut menjadi korban, tetapi Raja Buleleng I Goesti Angloerah Gde Karang selamat.
Catatan lebih rinci lagi disebutkan Arthur Wichman (1918) saat menyusun katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode . Disebutkan, gempa itu terjadi pada 22 November 1815 sekitar pukul 10 malam.
Pusaran Arus
Selain kondisi geologisnya yang kompleks memicu kerentanan gempa dan tsunami, posisi geografis Bali dan Nusa Tenggara menjadi faktor yang mempengaruhi arus laut di perairan ini. Widodo mengatakan, kondisi arus di permukaan dan kedalaman Laut Bali, misalnya, bisa amat berbeda. Bahkan, di tiap kedalaman bisa berbeda-beda.
Arus di lapisan permukaan laut dipengaruhi oleh pergerakan angin monsun barat dan timur. Namun pada kedalaman tertentu lebih dipengaruhi aliran Arus Lintas Indonesia atau Arlindo, yakni aliran massa air dari Samudra Pasifik menuju Samudera Hindia, melalui Selat Lombok.
Menurut Widodo, pengukuran yang dilakukan tim KKP dan sejumlah peneliti internasional pada menemukan debit Arlindo yang mengalir melewati Kanal Labani di Selat Makassar mencapai 11,6 juta meter kubik per detik, kemudian yang mengalir melewati Selat Lombok diestimasi sekitar 2,6 juta meter kubik per detik.
Selain itu, pada arah sebaliknya aliran internal wave atau gelombang panjang di bawah permukaan laut dari arah Samudra Hindia menuju utara. Pada tahun 2005, Widodo bersama tim peneliti menyusuri peraian ini menggunakan Kapal Baruna Jaya untuk meneliti pola arus bawah laut. Ditemukan arus bawah laut di perairan sekitar Selat Lombok bisa berbeda arah berdasarkan kedalamannya.
Kajian yang ditulis Yogo Pratomo dari Sekolah Tinggi Angkatan Laut bersama Widodo dan tim di jurnal Omni Akuatika (2017) menyebutkan, di Selat Lombok di kedalaman 100 meter terdapat arus laut menuju ke selatan. Namun, di kedalaman 250 meter, arus ada yang menuju utara walaupun tidak signifikan.
Sebaliknya pada kedalaman 350 meter arus yang menuju utara menguat, sedangkan arus ke selatan berkurang kekuatannya. Di kedalaman 450 meter arus ke utara lebih menguat lagi. Menurut Widodo, arus yang ke utara itu adalah dibangkitkaninternal wave. Adapun arus yang menuju ke selatan merupakan representasi dari Arlindo.
”Pola arus laut ini membuat pergerakan di bawah Laut Bali memang sangat kompleks,” katanya.
Pada kondisi arus pada kedalaman sekitar 200 meter seperti yang terjadi pada 22 April 2021, terdapat arus menuju ke utara dari Selat Lombok yang merupakan terusan dari Samudra Hindia. ”Arus tersebut kemudian terbelah menjadi dua arah, berbelok ke barat dan ke timur ketika menabrak dinding basin Laut Bali bagian utara," kata Widodo.
Arus dari Selat Lombok yang berbelok ke barat kemudian bergerak mengikuti dinding basin Laut Bali yang berbentuk seperti wadah mangkuk sehingga arus berpusar arahnya melawan jarum jam. Sementara arus dari Selat Lombok yang berbelok ke timur, lalu berpusar dengan arahnya sesuai putaran jarum jam.
Berikutnya, pada 25 April 2021, menurut Widodo, kondisi arus pada kedalaman 110 m di Laut Bali dominan datang dari arah Kanal Labani, Selat Makassar, karena dipengaruhi Arlindo. Arus ini sebagian berpusar di Laut Bali, dan sebagian besar mengalir menuju Samudra Hindia melewati Selat Lombok.
Bagaimanapun kronologi tenggelamnya KRI Nanggala-402, kita hanya bisa mendo'akan para korban, semoga mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Swt, dan semoga keluarga yang ditinggalkan mendapatkan kesabaran. Aamiin.